Rabu, 17 Desember 2014

daster istri dari ustdaz yusuf mansur

Beberapa bulan terakhir ini, saya begitu adem dan ayem ketika membaca twit twit ustad yang satu ini.
ini salah satu tulisan beliau yang menggelitik dan mengena di hati. :)

“Sayang sama istri ga?” Begitu seorang suami ditanya. “Hormat ga sama beliau? Mau ga menjaga beliau? Tidak menyakiti?”
Semua suami insyaaAllah jawab, “Ya insyaaAllah. Sayang, hormat, peduli, pasti ngejaga, ga mau nyakitin…”
Nah… untuk menunjukkan rasa sayang, perhatian, peduli, mau ngejaga, menghormati istri, perlukah suami memakai daster istri?
Selain daster, perlu ga suami ikut memakai pakaian-pakaiannya istri? kalung, cincin, dan gelangnya istri? Supaya istri tau…
Kita sama tau jawabannya. Ga perlu suami memakai daster istri untuk menunjukkan bahwa ia sayang, peduli, mau jaga, perhatian, dan lain-lain.
Ga akan berkurang yakinnya istri bahwa suaminya sayang, meski ga make daster.
Malah istrinya bingung, hehehe bila tiba-tiba suami berdaster. Bahkan prihatin, ha ha ha.
Saya tidak bermaksud nambahin polemik. Sebab buat saya, semua juga hanya pendapat. Bukan di pemaksaan pendapat. Jadi bukan polemik.
Saya periksa dengan seksama timeline-timeline saya. Tentang seputar natal, harusnya aman. Ga men-judge. Bukan menunjukkan superior. Bahkan solutif.
Yakni dengan tulisan saya, bahwa banyak cara untuk menunjukkan toleransi. Ga meski satu pintu mengucapkan. Jika mengucapkan, pun banyak cara.
Islam agama yang memudahkan dan memberi solusi. Kalo sebagai presiden, gubernur, walikota, menag? Pimpinan perusahaan? tetap banyak cara.
Berulang-ulang saya meyakinkan diri saya, bahwa wajahnya harus toleran. Ga boleh ga toleran. Cari cara. Yang aman. Yang ga munculin polemik.
Tapi akhirnya, timeline-timeline saya alhamdulillaah dianggap intoleran. Tapi gapapa banget. Namanya kan disangka. Ya gapapa. Toh itu bukan sebenarnya.
Sebagai pejabat negara, atau pimpinan perusahaan, toh gapapa juga sebagai pejabat dari institusinya. Sebagai presiden… sebagai menteri agama… gitu. Masih aman.
Sebagai presiden… atas nama presiden… sebagai gubernur… atas nama gubernur… sebagai menteri agama… atas nams menteri agama… kami mengucapkan… masih aman. itupuuun…
Itupuuunnn… ada yangg lebih aman lagi… Apa? Kami mengucapkan… selamat hari raya… Nah… Aman buanget dah tuh. Ini solutif.
Apalagi saya udah twit kalem tentang banyak cara. Ajak keluar makan, misalnya,  jika kawan Anda yang dari umat lain. Banyak cara lah.
Asli banyak cara. Ga mesti pake daster istri. Salam.
Satu lagi. Tentang azan di tengah kebaktian… Ya itu salah satu wujud pake daster. Harusnya ga perlu. Nanti malah sinkritisme. Terlalu pluralis.
Saat ini, menjadi ahli pluralis, nampaknya menggoda. Padahal tanpa jadi pluralis, toh saya juga aman buat kawan-kawan umat lain. Ga bahaya dan ga membahayakan.
Alaa kulli haal, perbedaan harus menjadi ilmu dan wawasan. Bukan kemudian bikin jadi berantem. Sekalian latihan nulis, kemudian bersabar, hehehe.
Ayo kembali senyum… cintai, sayangi, hormati, jaga, kawan-kawan umat dari agama lain. Jangan menyakiti. Jangan ganggu. Kita satu Indonesia.
Apalagi sesama umat Islam sendiri. Makin ga layak ga saling senyum, ga saling mengerti, tentang pendapat-pendapat yang dipilihnya. Silakan. Senyum lagi yuk…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar