tadi ditanya oleh teman saya tentang benzophenon 3 da tiba2 ingin tahu lebih jauh...hmmm....
TABIR surya berguna untuk melindungi kulit dari bahaya sinar mentari.
Akan tetapi, sejumlah kontroversi yang beredar seputar produk perawatan
kulit tersebut cukup membuat orang merasa risau.
Perlindungan minim
Tabir surya dikhawatirkan tidak memberikan cukup perlindungan untuk
menangkal sinar UVA yang mempercepat penuaan. Dalam hal ini, kegelisahan
tersebut memang berdasar.
Menurut sebuah studi terbaru terhadap
13 jenis tabir surya populer, seperti dikutip situs prevention.com,
hanya lima di antaranya yang memberikan perlindungan tingkat tinggi
terhadap UVA. Sedangkan sisanya hanya menawarkan perlindungan tingkat
menengah.
Penemuan ini sungguh mengejutkan, karena UVA merupakan
95 persen dari keseluruhan sinar UV yang terpapar ke tubuh kita, dan
memicu lebih banyak radikal bebas yang berujung pada keriput dan noda di
wajah.
Untuk mendapatkan perlindungan UVA terbaik, pilih tabir
surya yang mengandung avobenzone, mexoryl, dan zinc oxide. Ironisnya,
matahari dengan cepat membuat avobenzone menjadi tidak efektif. Oleh
karena itu, pastikan senyawa tersebut dipasangkan dengan stabilisator
seperti octocrylene, polyester-8, butyloctyl salicylate, atau ethylhexyl
methoxycrylene.
Sementara itu, untuk mendapatkan perlindungan
dari radikal bebas, pilih tabir surya yang mengandung antioksidan
seperti vitamin C (alias asam askorbat) dan E (alias tokoferol), yang
mengurangi molekul-molekul berbahaya sebanyak 74 persen. Semakin tinggi
urutannya di daftar kandungan bahan, semakin besar konsentrasinya.
Penyebab kanker
Sempat beredar kontroversi yang mengatakan tabir surya mengandung
senyawa yang meningkatkan risiko kanker payudara. Kekhawatiran tersebut
timbul karena tabir surya umumnya mengandung oxybenzone (alias
benzophenone-3), yang memiliki kemampuan unik untuk melindungi kulit
dari sinar UVA dan UVB. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa
senyawa tersebut memiliki efek mirip estrogen, yang berpotensi
menyebabkan sel-sel kanker tumbuh lebih pesat.
Sebuah percobaan
menggunakan tikus yang diberikan oxybenzone dosis tinggi–jauh lebih
banyak dibandingkan yang mungkin terpapar oleh Anda dalam
sehari–menemukan bahwa efek mirip estrogen yang dialami ternyata sangat
rendah. Hal itu diungkapkan Henry Lim, MD, kepala departemen demartologi
di Henry Ford Health System.
Dalam sebuah studi lain, oxybenzone
konsentrasi tinggi diaplikasikan ke seluruh tubuh sejumlah sukarelawan,
setiap hari selama empat hari. Meski pun senyawa itu terserap ke dalam
aliran darah mereka, senyawa tersebut tidak memberikan dampak terhadap
hormon reproduktif, termasuk estrogen.
Pada intinya, belum ada
studi yang membuktikan atau menyimpulkan bahwa oxybenzone menyebabkan
kanker. Yang terbukti adalah bahwa tabir surya merupakan salah satu cara
terbaik untuk melindungi diri dari bahaya sinar UV. ”Kami mengetahui
manfaat tabir surya. Kami tidak melihat bahaya apa pun,” kata Kenneth
Portier, Ph.D., dari American Cancer Society.
Jika masih khawatir terhadap keamanan tabir surya yang Anda gunakan, pilih saja produk yang tidak mengandung oxybenzone.
Kekurangan vitamin D
Tabir surya dikhawatirkan memblokir proses produksi vitamin D. Padahal,
meski pun tabir surya SPF 30 memblokir 97 persen UVB (sinar yang
memungkinkan kulit memproduksi vitamin D) penelitian menunjukkan
penggunaan normal tidak mengakibatkan kekurangan vitamin D. Sebagian
penyebabnya karena orang biasanya tidak mengaplikasikan cukup tabir
surya untuk menimbulkan masalah tersebut.
Vitamin D merupakan
salah satu nutrisi penting bagi tubuh. Sayangnya, penelitian menunjukkan
banyak orang mengalami kekurangan vitamin D.
Solusi sederhana
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memastikan mendapatkan lebih
banyak asupan vitamin D dalam diet Anda. Sumber vitamin D yang baik
antara lain salmon, keju, susu fortifikasi dan jus. Selain itu, ada
baiknya meminum suplemen harian yang mengandung vitamin D3 dengan dosis
1.000 IU.
”Langkah ini sangat mudah dan jauh lebih aman
dibandingkan menggoreng kulit Anda di bawah sinar matahari,” kata James
Spencer, MD, profesor dermatologi klinis di Mount Sinai School of
Medicine.
sumber: Yulia Permatasari, mediaindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar